Saturday, March 12, 2011

Siapa Takut Bilang "Saya Tidak Tau"...!?


Dikisahkan dari Al Khatib Al Baghdadi, bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang 48 masalah, hanya dua yang dijawab, dan 30 masalah lainnya dijawab dengan, “la adri“ (saya tidak tahu) (Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/170). Tidak hanya sekali. Dirwayatkan juga oleh Ibnu Mahdi, ada seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik, tetapi tidak satupun dijawab oleh beliau hingga lelaki itu berkata:“Aku telah melakukan perjalanan selama 6 bulan, diutus oleh penduduk untuk bertanya kepadamu, apa yang hendak aku katakan kepada mereka?“ Imam Malik menjawab, “katakan bahwa Malik tidak bisa menjawab!“  (Nukilan dari Al Maqalat Al Kautsari, 398).
Sudah diketahui beliau (Imam Malik) adalah seorang faqih besar Madinah, Imam Madzhab yang dianut ribuan ulama hingga kini, yang madzhabnya menyebar hingga Andalusia. Beliau tidak segan-segan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu menjawab.
Tidak hanya beliau, para ulama Madinah pun sangat berhati-hati dalam menjawab masalah halal dan haram. Karena jika tidak mengetahui masalah, kemudian memaksakan menjawab, sama dengan menisbatkan suatu perkara yang bukan syari’at kepada syari’at. Beliau menyatakan:“Tidak ada sesuatu yang paling berat bagiku, melebihi pertanyaan seseorang tentang halal dan haram. Karena hal ini memutuskan hukum Allah. Kami mengetahui bahwa ulama di negeri kami (Madinah), jika salah satu dari mereka ditanya, sekan-akan kematian lebih baik darinya.“ (dari Maqalat Al Kautsari, 399).
Abu Hanifah, Imam Madzhab paling tua dari empat madzhab juga pernah ditanya 9 masalah, semua dijawab dengan “la adri”. (lihat, Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/171).

Beda Dulu dengan Kini
Di atas, adalah gambaran kehati-hatian yang dilakukan oleh mereka yang sudah sampai derajat mujtahid, yang tidak diragukan lagi kedalaman ilmunya. Sungguh, gambaran seperti itu amat susah ditemui saat ini.
Para Salafus Shalih sangat takut jika dimintai pendapat tentang masalah agama. Tetapi keadaan sekarang ini justru sebaliknya, banyak yang merasa bangga, atau setidaknya senang jika banyak orang yang bertanya tentang keislaman. Padahal kapasitas dan bekal ilmu agamnya masih sangat minim. Bahkan ada yang sampai menulis buku meski tanpa memiliki bekal ilmu yang memadai. Sungguh celakalah bila memaksakan diri untuk memberi jawaban padahal tidak memiliki pengetahuan tentang hal yang ditanyakan.
Sering kita jumpai juga, banyak pencari ilmu zaman ini yang gampang mengeluarkan “fatwa“ tentang masalah halal haram. Ada dua kubu ektrim di antara mereka. Ada yang terlalu mudah menyesatkan umat Islam lain, karena ketidak tahuannya bahwa hal itu masih dalam lingkup khilaf mu’tabar, dan belum memahami bagaimana mensikapi perbedaan pendapat. Ada pula yang berfikir, siapa saja boleh berpendapat tentang masalah agama, sehingga semua pendapat boleh saja dipakai. Orang seperti ini jika memiliki pandangan nyleneh, berlawanan dengan pendapat para ulama, ia akan mengatakan,“ini kan ijtihad saya, saya juga punya argumen“. Padahal ia tidak memahami bahasa Arab dan masih mengandalkan buku-buku terjemahan. Orang seperti ini masih dalam kategori muqallid (orang yang ber-taqlid). Padahal sudah jelas bahwa untuk melakukan ijtihad harus memenuhi syarat-syaratnya.
Sungguh mereka ini amat jauh dibandingkan dengan generasi awal, yang sudah sampai derajat mujtahid mutlak, tapi amat takut berbicara masalah dien. Sebaliknya yang terjadi di zaman ini, mereka yang tidak sampai pada derajat mujtahid fatwa (tingkatan terendah dalam ijtihad), sudah bependapat macam-macam.

“La Adri“, Bagian dari Ilmu
Saat ini banyak yang masih mengira, jika seseorang tidak tahu, lalu ia terus terang mengatakan “saya tidak tahu“, maka sederet stigma negatif akan menempel kepadanya, seperti kurang pengetahuan, bodoh, kuper dll. Padahal tidak demikian, beberapa ulama seperti Al Mawardi dan Al Munawi menjelaskan, justru merupakan sifat orang alim, jika ia tidak tahu maka ia terus terang. Sebaliknya sifat orang bodoh, jika ia takut mengatakan kalau dirinya tidak tahu, dan hal itu bukanlah sebuah aib.
Beliau menjelaskan:“Kedudukan seorang alim tidak akan jatuh dengan mengatakan “saya tidak tahu“ terhadap hal-hal yang tidak ia ketahui. Ini malah menunjukkan ketinggian kedudukannya, keteguhan dien-nya, rasa takutnya kepada Allah Ta’ala, kesucian hatinya, sempurna pengetahuannya serta kebaikan niatnya. Orang yang lemah dien-nya merasa berat melakukan hal itu. Karena ia takut derajatnya jatuh di depan umum dan tidak takut jatuh dalam pandangan Allah. Ini menunjukkan kebodohan dan keringkihan diennya“. (Faidh Al Qadir, 4/387-388).
Imam Al Mawardi juga menyebutkan: “Jika tidak memungkinkan mendapat kesempatan untuk menguasai seluruh ilmu, maka jahil terhadap beberapa masalah bukan merupakan suatu aib. Jika demikian maka janganlah engkau malu mengatakan,“saya tidak tahu“, menyangkut hal-hal yang engkau tidak tahu“. (lihat, Adab Ad Dunya wa Ad Din, 82)
Sehingga tidaklah heran jika para salaf menyatakan bahwa “la adri“ (saya tidak tahu) adalah bagian dari ilmu. Seperti Abdullah bin Umar yang menyatakan: “Ilmu ada tiga: Kitab yang dibaca, Sunnah yang ditegakkan, dan la adri.“ (Riwayat Ibnu Majah).
Begitu pula Ibnu Mas’ud: “Sudah masuk bagian ilmu, dengan mengatakan “Allahu A’lam“, bagi hal yang tidak diketahui. (Riwayat An Nasai).
Bahkan Al Ghazali menilai bahwa pahala mereka yang mengaku terus terang, tentang ketidaktahuannya, tidak lebih sedikit, jika dibandingkan mereka yang mampu menjawab.
Beliau menjelaskan: “La adri adalah setengah dari pengetahuan. Barang siapa diam karena tidak tahu dan itu dilakukan karena Allah, maka pahalanya tidak lebih rendah daripada mengatakan (karena dia tahu). Karena mengakui ketidaktahuan amat berat. Karena kabaikan diam disebabkan tidak tahu karena Allah adalah bentuk kewara’an (kehati-hatian) seperti mereka yang menjawab karena tahu adalah tabaru’an (pemberian). (lihat, Ihya’ ‘Ulum Ad Din, 1/69).


No comments:

Post a Comment

Thanks for your comment

Related Post